Pendidikan

Problema Demo di Indonesia Antara Demo dan Etika

Apa itu demonstrasi dan bagaimana kejadiannya di Indonesia kita tercinta, apa saja faktanya dan bagaimana hubungannya dengan etika? Kopi hitam jika disaring berkali-kali pasti akan bening. Gradien yang lengket jika sering digosok akan memudar juga. Dan setumpul apapun sebuah pisau, jika terus menerus diasah maka akan menjadi tajam. Ketiga metafora ini sengaja dijadikan dalih dengan tujuan agar pemerintah dan warga sipil selalu menjunjung tinggi etika.

Demonstrasi di Indonesia

Foto: cnbcindonesia.com

Table of Contents

Pertama

Jika negeri ini sudah lebih hitam dari kopi karena pemerintah dan rakyatnya dipandang tidak peduli dengan perekonomian nasional, maka wajar jika ribuan pasangan almamater memadati perempatan kota sambil “mahasiswa hidup” menyampaikan aspirasinya. Boleh panas, tapi melihat fakta di lapangan berbeda dengan nilai kejujuran yang diajarkan di kampus. Dalam kursus tersebut mereka diajarkan teori kejujuran untuk menciptakan pemerintahan yang bersih, seperti air yang sangat jernih. Namun ternyata air berubah menjadi kopi hitam setelah dikerumuni tikus-tikus berdasi.

Para almamater inipun tidak tinggal diam, sebagai pengikut perjuangan bangsa mereka kemudian menuntut kritik dan banyak saran. Bersamaan dengan bendera, kata-kata bijak di atas kertas, dan berbagai yel-yel, perjuangan menyaring “kopi hitam” Indonesia kembali ke air jernih ini patut mendapat pengakuan. Tapi apakah tindakan ini dilakukan dengan etika terbaik?
Bahkan, pengunjuk rasa ini ada yang membakar ban (polusi udara), ada yang mencoret-coret tembok jalan (mencemari lingkungan).

Akibatnya, aparat keamanan yang bertugas menjaga ketertiban masyarakat harus melempar gas air mata ke arah para demonstran hingga membuat sebagian dari mereka sesak nafas dan mata pedih, bahkan memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing. Apakah itu etika aparat dalam menghadapi demonstrasi?

Kedua

Jika negara ini lebih dekat dengan bangsa karena pemerintah dan rakyatnya ingin membuat undang-undang yang menghebohkan banyak pendapat, maka wajar jika ribuan pasangan almamater memenuhi tuntutannya. Kedatangan para pengunjuk rasa di depan kantor-kantor pemerintah baru-baru ini tentu ingin menyampaikan kritik terhadap Perda ini, perda yang dianggap tidak tepat ini. Demonstran tidak mungkin bisa masuk ke dewan, tapi bukan berarti wakil rakyat menuduh melakukan kesalahan di masyarakat.

Akibatnya, pengunjuk rasa berbondong-bondong turun ke jalan, bersama dengan bendera dan slogan yang ditulis di atas kertas. pertarungan yang luar biasa Namun, apakah tindakan ini dilakukan dengan etika terbaik?
Karena beberapa pengunjuk rasa membakar mobil polisi (merusak alutsista negara) bahkan melemparkan benda keras (tindakan kriminal).

Foto: national.okezone.com
Tidak mungkin tinggal diam, aparat keamanan akhirnya menangkap beberapa orang dari para pengunjuk rasa. Rekaman amatir menunjukkan beberapa petugas memukuli para demonstran. Apakah itu etika berurusan dengan demo?

ketiga

Jika negara ini lebih tumpul dari pisau karena pemerintah dan rakyat dilaporkan gagal mengatasi kerusuhan di beberapa daerah, maka wajar jika ribuan pasangan almamater akan kembali ke kehidupan “mahasiswa”. melakukan jalan utama. Para pengunjuk rasa menganggap agama, etnis, dan genre terjalin secara harmonis, dan malah menyulut konflik berdarah di berbagai bidang. Papua berbeda dengan Jawa, Sumatera berbeda dengan Sulawesi, Kalimantan berbeda dengan Riau (meski sama-sama pernah dilalap api).

Perbedaan ini seharusnya tidak menimbulkan perpecahan, namun nyatanya masih ada masyarakat yang merasa terasing, dalam hal ini juga mahasiswa berperilaku kasar di jalan, mereka mengambil langkah, bersuara, bergerak. Sejauh yang disimpulkan oleh media dan penonton di Indonesia, apakah demonstrasi yang memperjuangkan keadilan ini berada di jalur etika yang benar? Apakah cara aparat menghadapi demonstran juga benar secara etis?

untuk para pengunjuk rasa, pejabat dan pemerintah yang dewasa dan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat. Coba kita buktikan sendiri, bagi para demonstran pendidikan, coba dipastikan yang hitam itu kopi atau gelasnya dulu? Jika kopinya hitam, lebih baik saring dengan saringan halus. Jangan biarkan lemparan batu, asap ban dan grafiti di dinding memecahkan kaca.

Pada petugas dengan latar belakang protektif, apakah Anda memeriksa ulang apakah kaki sudah terpasang atau benar-benar kulitnya gelap? Jika kaki lengket, sebaiknya gosok dengan lembut. Jangan biarkan rekaman amatir yang tidak menyenangkan ini mengotori wajah Anda.

Dan untuk pemerintah, Anda sering melakukan penilaian terbuka di depan umum, khususnya mahasiswa. Masyarakat zaman sekarang sudah cerdas, di benak mereka bukan lagi cerita rakyat Malin Kundang, Tangkuban Perahu atau legenda Danau Toba. Orang sudah bisa membedakan apa itu taring dan apa pertarungannya.
Lakukan evaluasi terbuka sebulan sekali atau setiap dua bulan atau setengah tahunan. Libatkan orang terpelajar seperti dosen, guru, mahasiswa, itu lebih baik daripada diadili di jalanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

| |
Back to top button